Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari radhilallahu
‘anhu, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.”
(mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin,
dan kaum muslimin umumnya.”
Takhrij-Hadits
Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits
no. 55) di dalam Shahih-nya, di dalam Kitab al-Iman: Bab
Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an-Nawawi), dari tiga
jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid
al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam
periwayatan hadits ini.
Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya
-dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab
Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati
l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul-Bari),
karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan
kalimat (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab
dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam
an-Nawawi dalam al-Arbain (hadits no. 7) membawakannya tanpa
pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).
Biografi Periwayat Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud
bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari.
Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan
salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya
sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah. Al-Jassasah adalah
seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang
juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman. Lihat an-Nihayah
(V/268) dan Lisanul-Arab (I/786). Dalam kisah itu terdapat cerita tentang
Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita
dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini
sebagai salah satu keutamaan beliau.
Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah
sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke
Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah
seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau
riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim,
yaitu hadits ini (ad diinu annashiihah). Hidup beliau dipenuhi dengan
ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau
wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang
anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau.
Makna Kata dan Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki
sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab
(perhitungan), al-’adah (kebiasaan), ath-tha’ah (ketaatan),
dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang
dimaksud dalam hadits ini.
Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nush-hu)
yang memiliki beberapa pengertian:
1. (al-Khulush) berarti murni, seperti
dalam kalimat: (al khoolish minal ‘asal) ‘Madu yang murni’. Perkataan
dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah
bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin. (Lihat I’lamul-Hadits
(I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33).
2. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti
‘menjahit/menyulam dengan jarum’. Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat
kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah
bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik
kembali dan layak dipakai.
Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir
menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang
sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati.
Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus
bergabung dengannya kata yang lain.” Ini semakna dengan defenisi yang
disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata
yang jami’ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi
(kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun
luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa
mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata
lain.”
Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah
salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara.
Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki
kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa
dia adalah seperempat agama. Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya,
seperti dikatakan oleh an-Nawawi.
Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa
agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam,
Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril.”
Macam-macam Nasehat
(1) “Agama (Islam) itu adalah nasehat.”
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang
(yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan
tegak dan kuat.”
Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini)
bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa)
sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits:
‘Haji itu Arafah.’ Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut
(yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang
dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian
agama.”
(2) “Nasehat bagi Allah.”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak
mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk
penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-nya dengan
segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan,
mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya,
bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan
membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur
terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam
segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan
sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka
dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah
(penyandaran) nasehat kepada Allah -sebenarnya- kembali kepada hamba itu
sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia.”
(3) “Nasehat bagi Kitab Allah.”
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah
Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak
serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun
yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan
sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’,
dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil)
orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya.
Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan
perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah
(pelajaran) dari peringatan-peringatannya. Memikirkan hal-hal yang menakjubkan
di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai
dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih
(yang sulit) -yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum
(maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus
hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya).
Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk berpedoman
dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi
Kitabullah.
(4) “Nasehat bagi Rasulullah.”
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani
segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan
membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci
orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada
beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan
sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung
segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah
beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang
dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan
memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak
menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan
mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai
ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid’ah terhadap sunnah
beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna
lain yang semisalnya.
(5) “Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum
muslimin.”
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas
kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas
kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika
lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui,
tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati
mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk
dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad
bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak
dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka -baik ketika mereka berlaku
zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan
mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan
para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum
muslimin, dan inilah yang masyhur.” Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga
ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat
bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum
mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan)
kepada mereka.”
(6) “Nasehat bagi kaum muslimin umumnya.”
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan
dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan
agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan
perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala
bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan
mereka melakukan perkara yang makruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan
penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan
menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik
(mau’izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada
mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka
sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak
mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka
untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk
melaksanakan ketaatan-ketaatan, dan sebagainya.
Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang
bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah
mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku
menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi
nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya,
Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka
Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu
amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak
menyukai orang-orang yang memberi nasehat.’” (QS. Al-A’raf: 79)
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan
manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul.
Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi,
maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta
langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini.
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal,
“(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila
ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih
lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan
(masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima
dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya
(yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya
(yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu
a’lam.”
Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh,
nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah,
ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa
agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan
ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada
yang fardhu kifayah.
Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin
Nashr dalam kitabnya Ta’zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh
Ibnu Rajab dalam Jami’ul-’Ulum wal-Hikam, katanya, “Dan ia (nasehat)
terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah
(sunnah/dianjurkan).” Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar
yang tidak dapat kami muat disini.
Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan
penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami
(para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’” Dan bahwa nasehat itu dinamakan
agama dan Islam, dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada
yang berupa perkataan.
2. Perkataan Imam Bukhari dalam Shahih-nya,
“Bab sabda Nabi: Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil
muslimin wa ‘ammatihim. Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohuu lillaahi wa li
rosuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat
merupakan bagian dari iman. Wallahu A’lam.