Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus..” (QS. Al Bayyinah : 5)
Dari ‘Umar radiyaLlahu ‘anhu, bahwa RasuluLlah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah lewat generasi terdahulu (salaf) yang shalih, dan tidaklah mereka mencapai berbagai kejayaan kecuali dengan mengikhlaskan segala amalnya untuk Allah Rabb semesta alam. Dahulu, seseorang pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang sifat jujur dan ikhlas, maka beliau menjawab, “Dengan hal tersebut niscaya akan terangkatlah derajat suatu kaum.”
Seseorang akan memperoleh ilmu sesuai dengan kadar keikhlasannya.
Ikhlas dalam mencari dan mengajarkan ilmu itu dibangun di atas empat landasan, yaitu berniat untuk :
1. Menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, dengan mengenali apa-apa yang diwajibkan atasnya baik dalam hal ibadah, perintah, larangan, dan sebagainya.
2. Menghilangkan kebodohan dari orang lain, dengan cara mengajari dan menunjuki mereka kepada ilmu yang akan membawa kebaikan bagi dunia dan akhirat mereka.
3. Menghidupkan ilmu dan menjaganya sehingga tidak hilang ditelan waktu.
4. Mengamalkan ilmu.
Para salaf rahimahumullah dahulu begitu khawatir akan ketiadaan ikhlas dalam hati mereka dalam menuntut ilmu. Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah engkau mencari ilmu karena Allah?”. Beliau menjawab, “Demi Allah! Itu sangat berat! Akan tetapi, hal itu adalah sesuatu yang sangat kuharapkan ada pada diriku, maka aku berusaha mencarinya.”
Maka, sudah seharusnya lah bagi mereka yang menginginkan keselamatan untuk mencari hal yang pokok ini, yaitu ikhlas, dalam setiap perkara yang mereka kerjakan. Demikian pula hendaknya untuk senantiasa memperbaiki niat. Sebab, hal tersebut merupakan perkara yang berat.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah memperbaiki sesuatu yang lebih berat dari niatku, karena ia senantiasa berubah-ubah.”
Bahkan Sulaiman Al Hasyimi rahimahullah berkata, “Terkadang aku menyampaikan satu hadits dan aku memiliki niat (yang ikhlas), namun ketika aku sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niatku. Ternyata satu hadits saja perlu banyak niat.”
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua agar dapat membersihkan hati dari segala kotoran, serta mengikhlaskan niat untuk Allah. Aamiin.