Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Hijir Ismail



Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa hijir Ismail masih termasuk Baitullah, dan termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29)

Oleh karena itu, ketika thawaf kita harus mengelilingi hijir Ismail. Jika tidak mengitarinya maka thawaf kita tidak sah. Hijir yaitu: tempat di mana Nabi Ibrahim meletakkan istrinya Hajar dan putranya Ismail, ketika ia membawa mereka ke Mekah. Ia memerintahkan Hajar membuat bangsal di tempat tersebut.

Bangsa Quraisy telah memasukkan sebagian dari Ka’bah ke dalam hijir, karena kurangnya anggaran mereka ketika membangunnya kembali setelah dipugar. Di saat Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu menguasai Mekah, ia memugar Ka’bah dan membangunnya kembali, dan memasukkan kembali bagian Ka’bah yang dikeluarkan oleh Quraisy ke hijir. Tetapi setelah terbunuhnya Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu, Hajjaj mengembalikannya lagi ke dalam hijir, dan membangun dinding di atas pondasi yang dibangun oleh Quraisy, dan demikianlah hingga sekarang.

Maka jadilah sebagian hijir termasuk bagian dari Ka’bah dan sebagian yang lain bukan termasuk Ka’bah. Dalil yang menunjukkan bahwa sebagian hijir termasuk bagian dari Ka’bah, adalah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu”

“Kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kesyirikan (kejahiliyahan), niscaya aku telah menghancurkan ka’bah dan pintunya aku buat menjadi sejajar dengan tandah an aku membuat dua pintu; pintu sebelah timur dan pintu sebelah barat dan aku tambahkan dan hijir sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya Quraisy menguranginya di saat membangun Ka’bah.”

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Sungguh sekiranya Aisyah mendengar ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurutku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh dua sudut yang berhadapan dengan hijir, melainkan karena Baitullah dibangun tidak sempurna seperti yang dibangun oleh nabi Ibrahim.”

Banyak ulama yang menyebutkan bahwa Nabi Ismail dimakamkan di hijir di sisi kuburan ibunya. Tetapi semua riwayat ini dha’if (lemah) tidak satu pun yang shahih. Di antara alasan dhaifnya adalah banyak sahabat yang menyaksikan dan ikut serta ketika Quraisy membangun Ka’bah, dan menggali pondasi Ka’bah saat itu, dan tidak seorang pun dari mereka yang melihat ada bekas kuburan. Jika di sana memang ada kuburan, tentu kita tidak dibenarkan menginjak kuburan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya menginjak dan duduk-duduk di atas kubur.

Banyak hadis yang menjelaskan, bahwa masuk ke dalam hijir berarti masuk kedalam Baitullah. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu aku ingin sekali masuk ke Baitullah dan shalat di dalamnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tanganku dan membawaku ke dalam hijir seraya bersabda:

“Jika engkau ingin masuk ke Baitullah, maka shalatlah di sini (hijir) karena ini adalah bagian dari Baitullah, karena kaummu menguranginya di saat membangunnya kembali.”

Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Jubair dari bibinya Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata, “Aisyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Bolehkah aku masuk ke Baitullah?”, beliau Bersabda:

“Masuklah ke dalam hijir, karena ia masih bagian dari Baitullah.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Lakukanlah shalat di tempat orang-orang pilihan, dan minumlah minuman orang-orang yang baik! Lalu ada yang berkata, “Di mana tempat shalat orang-orang pilihan itu?” Ia menjawab, “Di Bawah Mizab (pancuran emas),” dan ada yang bertanya, “Apa minuman orang-orang yang baik?” Ia menjawab, “Air zam-zam.”

Hadis di atas menjelaskan keutamaan shalat di hijir.

Adapun hadis yang diriwayatkan dari Atha, bahwa ia berkata, “Siapa yang berdiri di bawah pancuran Ka’bah, lalu berdoa, niscaya dikabulkan, dan dia keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Hadis ini dha’if tidak bisa dijadikan hujah. Perkataan ini berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, naifnya lagi tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada salah seorang sahabat.