Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Amin, Satu Kata untuk Pelebur Dosa



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Jika seorang imam mengucapkan ‘amin’ maka ucapkanlah pula ‘amin’ karena ungkapan amin seseorang yang bersesuaian dengan ungkapan amin para malaikat akan terampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhariy dan Muslim.

FAWA’ID AL-HADITS:

Faidah Pertama: Apa yang dimaksud dengan ungkapan amin?


Ungkapan amin bermakna ‘Allahumma istajib’ (Ya Allah, kabulkanlah).

Faidah Kedua: Apa hikmah mengucapkan amin setelah imam selesai membaca alfatihah?

Secara umum, dalam setiap kebaikan yang diperintahkan oleh Islam mengandung begitu banyak hikmah dan kebaikan untuk manusia itu sendiri. Ini sesuai dengan salah satu kaidah agung yang ditetapkan Islam:

الدين جاء لسعادة البشر

“Islam terbit untuk kebahagiaan manusia”

Dalam hadits ini terdapat sebuah pelajaran yang mulia nan agung yaitu pensyariatan ungkapan amin dan keutamaan yang diperoleh bagi orang yang mengucapkannya.

Surat al-Fatihah mengandung do’a teragung, termulia dan terbaik seperti yang diungkpakan para ulama dalam kitab mereka. Secara umum, dalam kitab-kitab yang mensyarah hadits ini, diungkapkan bahwa pensyariatan amin dikaitkan dengan doa yang termaktub dalam al-Fatihah.

Faidah Ketiga: Kapan amin diucapkan?

Para ulama menjelaskan bahwa amin diucapkan beberapa saat setelah imam selesai membaca surat al-Fatihah.

Faidah Keempat: Apakah ma’mum mengucapkan amin mendahului imam atau setelah ungkapan amin sang imam?

Dari hadits tersebut nampak bahwa amin sang imam lebih dahulu dibanding amin ma’mum namun jumhur ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ammana al-imam (أمن الإمام)” adalah saat sang imam akan memulai ungkapan amin. Saat inilah ma’mum bersegera mengucapkan amin sehingga ungkapan imam dan ma’mu menyatu dalam satu waktu.

Faidah Kelima: Bolehkan ma’mum mendahului amin imam?

Tidak boleh bagi makmum mendahului unngkapan amin sang imam atau mengakhirkannya agar mendapat keutamaan besar yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini.

Faidah Keenam: Apakah yang terhapus adalah semua jenis dosa?

Secara umum, dalam ilmu Ushul Fiqh, lafadz “maa (ما)” adalah “ism maushul” yang bermakna umum. Artinya, berdasarkan redaksi di atas, dosa yang disebutkan mengandung dosa kecil dan besar.7 Namun, para ulama yang meneliti nash mengungkapkan bahwa pengguguran dosa yang dimaksud dalam hadits di atas dan hadits lain yang sejenisnya berhubungan dengan dosa kecil saja.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy mengungkapkan bahwa semua nash yang mengandung pengampunan dosa ditujukan terhadap dosa kecil, bukan dosa besar. Dosa besar gugur dengan taubat yang dilakukan seorang hamba.

Faidah Ketujuh: apa yang dimaksud dengan “muwaafaqah (موافقة)/berkesesuaian”?

Para ulama berbeda pendapat tentang makna “muwaafaqah (موافقة)/berkesesuaian.”


1. Kesamaan waktu. Artinya, amin ma’mum dan amin para malaikat bersamaan di waktu yang sama. Kebersamaan do’a dan berpadunya waktu adalah salah satu factor diterimanya doa apalagi doa tersebut bersesuaian dengan doa para malaikat yang memang tidak bermaksiat kepada Allah, melakukan apa yang Allah perintahkan, bershaf-shaf di sisi Allah, bertasbih dan bersujud kepada Allah ‘azza wajalla.

2. Kesamaan ma’mum dengan sifat dan keadaan malaikat yaitu memandang kerendahan diri saat berdoa, menundukkan hati dan khusyu’ karena Allah tidak menerima doa dari hati dan jiwa yang lalai.

Faidah kedelapan: Siapa malaikat yang disebutkan dalam hadits di atas?

Para ulama menjelaskan bahwa para malaikut pun mendengar bacaan imam. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang malaikat mana saja yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Bassam mengungkapkan bahwa malaikat yang dimaksud adalah malaikat yang ikut menyaksikan shalat tersebut baik malaikat yang ada di bumi maupun malaikat yang ada di langit.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengungkapkan bahwa malaikat yang dimaksudkan hanyalah malaikat yang diijinkan Allah untuk mengucapkan amin bersama orang yang shalat. Dan ini tidak berlaku bagi malaikat yang tidak diijinkan Allah.
Penutup:

Ada banyak sekali permasalahan fiqhiyyah yang berkaitan dengan hadits di atas, misalnya status hukum ucapan amin dalam shalat, apakah imam wajib membaca amin baik dengan mengeraskan hingga terdengar makmum atau dengan suara pelan, ataukah sebatas sunnah baginya, dan permasalahan lain.

Hanya saja, alangkah baiknya bagi imam dan makmum, dan ini begitu disarankan para ulama, untuk membaca amin dalam waktu yang sama dengan suara yang terdengar sehingga mereka mendapat keutamaan penghapusan dosa. Begitu pula ketika membaca amin diharapkan dengan hati yang khsuyu’ penuh ketundukan sehingga menyerupai keadaan para mailaikat.

Sungguh, kita dapati sebagian saudara kita begitu lalai membaca amin dalam shalat padahal para ulama mengungkapkan bahwa kesempatan membaca amin dalam shalat ini dengan ungkapan:

هذه غنيمة جليلة وفرصة ثمينة ألا وهي غفران الذنوب بأيسر الأسباب فلا يفوتها إلا محروم

“Ini adalah harta/kemenangan (peraihan sesuatu tanpa ada kesulitan sedikit pun –ed) yang mulia dan kesempatan yang begitu berharga yaitu pengampunan dosa dengan wasilah yang paling mudah. Orang yang terluput dari kesempatan ini hanyalah orang-orang yang memang diharamkan untuk meraihnya ”

Referensi:



  1. Ta’liqat ‘ala ‘Umdah al-Ahkam, karya syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy, Dar a’Atsar, Mesir.
  2. Mandzumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibn Jauziy, Saudi Arabia
  3. Taisiyr al-‘Allam Syarh ‘Umdah al-Ahkam, karya syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Dar al-Aqidah, Mesir.
  4. Syarh ‘Umdah al-Ahkam, karya syaikh Sa’ad bin Nashir as-Syatstriy, Dar Kanuz Isybilya, Arab Saudi
  5. Tanbih al-Afham Syarh ‘Umdah al-Ahkam, karya syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Maktabah as-Shabah, Mesir.
  6. Zubdah al-Afham bi Fawa-idh ‘Umdah al-Ahkam, karya syaikh Abu ‘Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilaliy, Dar Ibn Hazm, Libanon.