SEPERTI biasa, saat pertengahan (Ramadhan) tahun itu Khadijah binti Khuwailid mengantar suaminya, Muhammad SAW, sampai di depan pintu. Kemudian Khadijah melepas kepergian beliau dengan penuh keikhlasan.
Tatapan mata Khadijah terus mengikuti langkah-langkah suaminya hingga ke sebuah titik yang tak terlihat. Barulah setelah itu ia kembali masuk ke dalam rumah dengan iringan doa untuk keselamatan suaminya.
Hari itu Muhammad SAW kembali ke gua Hira’ hingga Ramadhan berakhir. Dan, sesuai kehendak-Nya, malaikat Jibril mengunjunginya dengan tugas menyampaikan risalah Ilahiah, membawa wahyu. Suatu peristiwa yang sedemikian sakral hingga mengguncang jiwa Muhammad SAW yang kemudian diangkat sebagai Rasulullah.
Tatapan mata Khadijah terus mengikuti langkah-langkah suaminya hingga ke sebuah titik yang tak terlihat. Barulah setelah itu ia kembali masuk ke dalam rumah dengan iringan doa untuk keselamatan suaminya.
Hari itu Muhammad SAW kembali ke gua Hira’ hingga Ramadhan berakhir. Dan, sesuai kehendak-Nya, malaikat Jibril mengunjunginya dengan tugas menyampaikan risalah Ilahiah, membawa wahyu. Suatu peristiwa yang sedemikian sakral hingga mengguncang jiwa Muhammad SAW yang kemudian diangkat sebagai Rasulullah.
Nabi SAW keluar dari gua itu menuju rumahnya dalam kegelapan fajar dan dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil. Khadijah terperanjat melihat suaminya yang kondisinya tidak seperti biasanya. Beberapa kali Rasulullah SAW berujar, “Selimutilah aku ….selimutilah aku …”.
Wanita shalihah itu dengan segera memenuhi permintaan suaminya seraya meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa suaminya. “Wahai Khadijah, sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku, ” jawab Rasulullah SAW.
Melihat wajah suaminya yang tampak tidak tenang itu, Khadijah menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata, “Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim (sapaan akrab pada Rasulullah SAW—red). Bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sugguh aku berharap agar engkau menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya engkau telah menyambung silaturahim, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.”
Meski telah berusaha memahami kondisi yang terjadi pada Rasulullah SAW, batin Khadijah tetap menyimpan tanda tanya. Apa yang diutarakan suaminya tentang hadirnya malaikat Jibril di gua Hira’ menjadi rahasia besar yang ia sadari tak boleh diceritakan pada sembarang orang.
Namun, tetap saja ia ingin mendapatkan jawaban mengenai peristiwa itu pada orang yang mengetahui ilmunya. Khadijah kemudian mengingat-ingat orang-orang berilmu yang ia kenal. Ia mendapatkan nama sepupunya, Waraqah bin Naufal, sebagai orang yang istiqamah berpegang pada ajaran tauhid di tengah masyarakat jahil dan penuh kemusyrikan di sekitar Mekkah.
Dengan izin suaminya, Khadijah mengajukan persoalan itu kepada Waraqah. Ia menuturkan secara runut kebiasaan suaminya ber-khalwat (menyendiri) ke gua Hira’, terutama sebulan penuh dalam setahun tersebut. Hingga pertemuan suaminya dengan malaikat Jibril dalam sosok aslinya itu.
Setelah mendengar penuturan Khadijah, muka Waraqah tampak berseri-seri dan penuh takjub. Dari pemahaman aqidah yang dimilikinya, Waraqah memaparkan bahwa peristiwa itu merupakan penanda suaminya bakal menjadi Rasul penutup para nabi untuk memimpin umat ke jalan kebenaran. “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar, maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung,” ucap Waraqah.
Tatkala melihat kedatangan Nabi SAW, secara spontan Waraqah berkata, “Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini. Pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu, dan akan memerangimu. Seandainya aku masih menemui hari itu, sungguh aku akan menolong dien Allah.”
Ia lantas mendekati wajah Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” “Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…,” jawab Waraqah, yang tak lama setelah pertemuan itu ia menghadap Allah Ta’ala.
Keterangan dari Waraqah tentu membuat hati Khadijah merasa lega. Ia sangat bersyukur mendapatkan seorang suami sebagai utusan Allah SWT. Meski kebahagiaannya menggelora di jiwanya, Khadijah berupaya keras menahan rahasia kejadian tersebut, kecuali hanya dia dan saudara sepupunya itu saja yang tahu.
Demikian pula Rasulullah SAW tak pernah membuka cerita itu kepada sembarang orang. Hingga saatnya beliau sendiri menerima perintah berdakwah ke tengah masyarakat menyampaikan amanah wahyu yang diterimanya.
“Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah!” (Al-Muddatstsir:1-7).